Jawaban Rokok Kita Sekarang

Apa yang saya baca di tulisan sebelumnya cukup menarik. Kenapa? Ini adalah sebuah tantangan besar bagi penentang garis depan pada kehidupan rokok di dunia ini, khususnya bangsa Indonesia.
Oh iya?

Saya bukanlah aktifis anti rokok, bukan anggota LSM, bukan pemerintah, bukan islam garis keras, bukan MUI yang ingin mengeluarkan fatwa HARAM merokok, apalagi ya? saya juga bukan anak pengusaha industri rokok. Jelas bukan lah. hahaha...

Saya hanyalah orang yang peduli dengan orang-orang disekitar kita yang terkena imbas dari batang-batang rokok itu. Orang yang menangis karena rokok, orang stress karena rokok, orang yang miskin karena rokok, orang yang susah karena rokok, orang yang sakit, orang yang mati juga karena rokok, dll.

Pak SBY, Pejabat dan Pemerintah lainnya akankah industri rokok ini masih ‘disembah’??
Petani tembakau dan cengkeh, pekerja, peritel, pemasok, apakah penghidupan ini hanya dari rokok??
APBN goblook, kenapa juga masih mengandalkan pendapatan dari rokok?
Gak bisa cari yang lain ta??

Di Indonesia peraturan dibuat melalui musyawarah untuk mufakat, itu harus bos! Tapi jangan mufakat yang GeJe (Geak Jelas….!)
Di dunia ini gak ada yang sulit, gak ada yang tanpa solusi, kecuali emang dibuat sulit.
Pak Polisi, bea cukai, dinas perindustrian & perdagangan, dan para penegak hukum jangan loyo pak! Tetap Semangat!
Kolonial Belanda, inggris, jepang hobinya merokok itu yang mewarisi bangsa kita punya tradisi/kebiasaan yang kurang baik. Kalau masih ingin dijajah ya terusin aja merokok sepuasnya. Ampun penjajah…

Smoga senantiasa kita sadar bersama tentang bahaya rokok, untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Amin...

Telaah Kritis Konsep Aliansi Strategis dalam Pemberdayaan Pasar Tradisional

content="Word.Document">

Kajian Terhadap Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional dan Pasar Perbelanjaan Modern untuk Membangun Budaya Gotong Royong melalui Strategic Alliance


Keberadaan pasar khususnya pasar tradisional merupakan salah satu indikator paling nyata kegiatan ekonomi masyarakat di suatu wilayah. Keberadaan pasar tradisional merupakan salah satu sarana publik yang mendukung kegiatan ekonomi masyarakat. Perkembangan jaman dan perubahan gaya hidup yang dipromosikan begitu hebat oleh berbagai media telah membuat eksistensi pasar tradisional menjadi sedikit terusik. Namun demikian, pasar tradisional ternyata masih mampu untuk bertahan dan bersaing di tengah serbuan pasar modern dalam berbagai bentuknya.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pasar modern dewasa ini sudah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup modern yang berkembang di masyarakat kita. Tidak hanya di kota metropolitan tetapi sudah merambah sampai kota kecil di tanah air. Sangat mudah menjumpai minimarket, supermarket bahkan hypermarket di sekitar tempat tinggal di sekitar kita. Tempat-tempat tersebut menjanjikan tempat belanja yang nyaman dengan harga yang tidak kalah menariknya.

Pada tahun 2007, baru terdapat Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional dan Pusat Perbelanjaan yang mengatur mengenai pemberdayaan pasar tradisional serta norma-norma keadilan, saling menguntungkan dan tanpa tekanan dalam hubungan antara pemasok barang dengan toko modern serta pengembangan kemitraan dengan usaha kecil, sehingga tercipta tertib persaingan dan keseimbangan kepentingan produsen, pemasok, toko modern dan konsumen.

Dalam peraturan tersebut terdapat pasal yang mengatur jam buka fasilitas ritel modern, jarak antara hipermarket dengan pasar tradisional yang telah ada sebelumnya. Pasar-pasar modern pun diharuskan menyerap produk yang dihasilkan usaha skala kecil menengah (UKM).

Dalam pengimplementasiannya, peraturan presiden ini masih banyak kekurangan dan dijelaskan dengan peraturan Menteri perdagangan sebagai petunjuk pelaksanaannya. Adapun dalam peraturan menteri perdagangan republik Indonesia nomor : 53/m-dag/per/12/2008 tentang pedoman penataan dan pembinaan pasar tradisional, telah diatur mengenai tata cara perijinan yang di dalamnya juga dijelaskan mengenai bentuk kemitraan untuk pemberdayaan pasar tradisional.

Dalam rancangan peraturan daerah tahun 2008 propinsi Jawa Timur, menyebutkan bahwa lokasi pendirian pasar modern dan toko modern mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk pengaturan zonasinya.

Meskipun diatur dalam peraturan tersebut, namun kenyataan yang terjadi di lapangan menyebutkan bahwa cukup banyak pelanggaran yang dilakukan pasar modern. Mulai dari jam buka dimana terdapat pasar modern yang memberlakukan jam buka 24 jam dan zona yang tidak sesuai dengan aturan zonasi yang telah ditetapkan.

Keberadaan pedagang tradisional semakin terdesak. Pada 2008 jumlah pedagang tradisional seluruh Indonesia turun 14 persen dari 12,6 juta pedagang menjadi 11 juta orang. Jumlah pasar tradisional yang sehat pun mengalami penurunan hingga 35 persen dari tahun lalu, atau dari 13.450 pasar menjadi 8.743 pasar. (Tempointeraktif, 17 September 2008)

Keberadaan pasar modern tidak dibarengi dengan pengaturan yang kongkrit untuk menyelamatkan pasar tradisional. Kalau ada kemitraan hanya bersifat kamuflase sehingga tingkat keberhasilannya sangat kecil. (Tempo, Februari 2008)

Ketimpangan pertumbuhan pasar tradisional dibandingkan dengan pelaku usaha lainnya seperti pasar modern telah diatasi dengan berbagai kebijakan bersifat bimbingan dan pembinaan, serta penciptaan iklim yang kondusif bagi tumbuh kembangnya pasar tradisional. Termasuk diantaranya menggugah kepedulian swasta besar untuk mengurangi jurang perbedaan antara pasar modern dengan pasar tradisional yang dapat berdampak negatif terhadap situasi dan kondisi ekonomi nasional. Wujud kepedulian tersebut dalam bentuk kerjasama usaha yang terintegrasi dan berinteraksi hingga tercipta suatu kekuatan atau sinergi dalam meraih peluang bisnis yang ada. Adapun bentuk-bentuk kerjasama tersebut selanjutnya disebut dengan aliansi strategis.

Dengan adanya aliansi strategis tersebut, diharapkan mampu membuat pengusaha pasar tradisional menjadi lebih produktif, mampu mengembangkan usaha bisnisnya, serta dapat memberikan dampak positif berupa penyerapan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran di Indonesia. Diharapkan dalam jangka waktu yang kontinyu, penerapan aliansi strategis untuk pembinaan pasar tradisional dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia seiring dengan berkembangnya perekonomian nasional.


Diajukan untuk KPKM 2009 (Kompetisi Pemikiran Kritis Mahasiswa)

Hukum di Indonesia, Menjadikan Kita sebagai “Penyembah” Industri Rokok!

Jika ada negara di bumi yang paling enak ditonton dalam arti hancur dan remuk dalam proses penegakan hukum, Indonesia adalah salah satu diantaranya yang berada di barisan paling depan. Setuju?

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Maidah : 8)

Saat ini tidak mudah bagi kita untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani. Pada umumnya penegakan hukum tidak pernah berproses di ruang hampa. Tetapi selalu terkorelasi dengan variabel-variabel lain, seperti ideologi hukum, karakter hukum, kondisi sosial, politik, budaya, ataupun kepentingan ekonomi saja. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negri maupun luar negri.

Dari tahun ke tahun, Masyarakat Indonesia juga semakin bisa mengerti, mereka mulai sanggup membedakan mana yang benar ataupun mana yang salah. Menyembah selain Tuhan, dalam konteks agama Islam, sangat terlarang (syirik). Tetapi, dalam keseharian, baik secara sosial, ekonomi, politik bahkan budaya; praktik semacam itu lazim terjadi. Trendnya malah mengalami eskalasi yang sangat kuat. Ada satu bukti empiris betapa praktik itu terus menggurita, yaitu "menyembah" industri rokok. Kelihatannya aneh sekali, tapi itulah fenomenanya. Pemerintah dan masyarakat menjadi "Penyembah" industri rokok. Entitas ekonomi yang satu ini dipuja, bagai tuhan saja. Cukai dan pajak Rp 50 trilyun ke kas APBN plus trilyunan rupiah lainnya, serta terserapnya ratusan ribu pekerja menjadi instrumen efektif untuk menuhankannya. Efek candu yang ditimbulkan, tegas sekali tercantum dalam bungkus dan iklannya bahwa "rokok dapat mengakibatkan serangan jantung, kanker paru serta gangguan kehamilan dan janin" menjadi bagian kecil yang tak tampak.

Merokok merupakan salah satu kebiasaan buruk yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Rokok menyebabkan satu dari 10 kematian orang dewasa di seluruh dunia, dan mengakibatkan 5,4 juta kematian tahun 2006. Ini berarti rata-rata satu kematian setiap 6,5 detik. Kematian pada tahun 2020 akan mendekati dua kali jumlah kematian saat ini jika kebiasaan konsumsi rokok saat ini terus berlanjut. Diperkirakan, 900 juta (84 persen) perokok sedunia hidup di negara-negara berkembang atau transisi ekonomi termasuk di Indonesia. The Tobacco Atlas mencatat, ada lebih dari 10 juta batang rokok diisap setiap menit, tiap hari, di seluruh dunia oleh satu miliar laki-laki, dan 250 juta perempuan. Di Asia, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak jumlah perokok yang mencapai 146.860.000 jiwa. Perokok di Indonesia 70 persen diantaranya berasal dari kalangan keluarga miskin. Orang miskin di Indonesia mengalokasikan uangnya untuk rokok pada urutan kedua setelah membeli beras. Mereka lebih mengutamakan rokok enam kali lebih penting dari pendidikan dan kesehatan.

Saat ini perokok tidak hanya dari kalangan dewasa, tetapi sudah merambah ke kalangan remaja dan anak-anak. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah perokok pemula, umur 5-9 tahun, naik secara signifikan. Hanya dalam tempo tiga tahun (2001-2004) persentase perokok pemula naik dari 0,4 menjadi 2,8%. Peningkatan prevalensi merokok tertinggi berada pada interval usia 15-19 tahun dari 13,7 persen jadi 26,8 persen atau naik 77 persen dari tahun 2004. Menurut Survei Global Tembakau di Kalangan Remaja pada 1.490 murid SMP di Jakarta tahun 2002, terdapat 46,7 persen siswa yang pernah merokok dan 19 persen di antaranya mencoba sebelum usia 10 tahun. “Remaja umumnya mulai merokok di usia remaja awal atau SMP”. Sebanyak 1.172 orang di Indonesia meninggal setiap hari karena rokok dan 100 persen pecandu narkoba merupakan perokok. Sudah banyak usaha yang dilakukan untuk mengurangi jumlah perokok, namun usaha tersebut tidak membuahkan hasil yang signifikan.

Dewasa ini, Pemerintah nyaris tak memedulikan pengendalian penggunaan tembakau (tobacco control) di negeri tercinta ini. Buktinya, ketika 192 negara anggota World Health Organisation (WHO) menundukkan diri dalam Kerangka Konvensi Pengendalian Dampak Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control / FCTC), Pemerintah Indonesia bergeming, hingga detik ini. Padahal, Pemerintah Indonesia adalah salah satu penggagas dan pembahas draf terbentuknya FCTC, yang kini telah menjadi hukum internasional.

Memang, Pemerintah pernah membuat terobosan kebijakan untuk membatasi ruang gerak industri madat ini. Setidaknya, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 1999 tentang Peyanggulangan Masalah Merokok bagi Kesehatan, mereka pernah dibuat bak cacing kepanasan. PP ini memerintahkan agar kandungan nikotin pada rokok dibatasi, maksimum 20 mg untuk tar, dan 1,5 mg untuk nikotin. PP ini juga melarang total iklan rokok di media masa elektronik. Tetapi, konsistensi PP ini hanya sebentar saja. Presiden Gus Dur melalui PP No. 32 Tahun 2000 dan Presiden Megawati melalui PP No. 19 Tahun 2003, telah menggembosi PP No. 81/1999. PP yang secara minimalis menjadi obat hati bagi pengendalian bahaya tembakau ini, rontok. Dalang dibalik drama ini, tiada yang lain, adalah industri rokok.

Advokasi pengendalian tembakau di Indonesia bagaikan menabrak tembok besar yang sangat kokoh, dan nyaris tak tersentuh. Hampir tidak ada, baik perseorangan maupun kelembagaan yang tidak "menyembah" (baca: terbeli) industri rokok. Bukan saja terbeli secara materi, tetapi juga pemikiran, ucapan, tindakan dan kebijakannya. Ormas keagamaan, partai politik, bupati, gubernur, menteri, dan sang Presiden sekalipun; semua dalam genggaman industri ini. Ormas keagamaan terbesar di negeri ini, bahkan mempunyai pabrik rokok, berkolaborasi dengan industri rokok besar. Akibatnya, nyaris mustahil 'fatwa haram' merokok meluncur dari "mulut" ormas ini. Bagaimana mengharamkannya, jika sang kyai ikut klepas-klepus, dan keperluan organisasinya pun dipasok dari industri rokok? Di Timur Tengah, bahkan Malaysia dan Brunei; sudah lama rokok diharamkan.

Peran dan fungsi Menteri Kesehatan (Menkes) disini yang seharusnya menjadi barisan terdepan dalam pengendalian bahaya tembakau, jangan sampai ucapan dan kebijakannya justru kontra produktif dengan mendukung industri rokok karena bisa memberikan cukai yang sangat besar kepada negara. Selain itu harus membuka mata lebar-lebar terhadap FCTC, Menkes harus menyegerakan bersinergis dengan para LSM atau aktivis untuk pengendalian bahaya tembakau.

Bagi anggota DPR atau bahkan Presiden melalui Forum Parlemen Indonesia untuk menyusun draf UU Pengendalian Dampak Produk Tembakau, harus terus didukung. Tidak seharusnya tanpa alasan jelas, Badan Legislasi DPR menolak draf RUU tersebut ke dalam Program Legislasi Nasional 2008/2009.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Atas dalih pengentasan kemiskinan, Presiden malah mensponsori pendirian pabrik rokok di kampungnya, Pacitan, Jawa Timur. Padahal, industri rokok sejatinya menjadi biang atas kemiskinan. Ibu Ani Yudhoyono, sang Ibu Negara, bahkan pernah menyampaikan kepada pimpinan sebuah LSM bahwa dirinya bisa membantu apa saja yang diminta LSM tersebut, kecuali satu: bicara masalah rokok! Padahal pimpinan LSM itu datang dalam rangka mengusung isu bahaya tembakau bagi generasi muda. Hal seperti ini, tak sepantasnya terjadi.

Bagi media massa, fungsi kontrol sosialnya (Sosial Control) nyaris tumpul saat berhadapan langsung dengan industri rokok. Besarnya keuntungan iklan rokok yang diterima, diduga menjadi penyebab utama. Sebuah stasiun televisi yang masih baru-baru ini, 75 persen keuntungan iklannya (hampir Rp 1 trilyun) dari industri rokok. Tetapi pemberi (industri rokok) berpesan, "Jangan sekali-kali membuat talkshow tentang rokok ya!". Media masa cetak besar di negeri ini (Jawa Pos, Media Indonesia, Kompas, dll.) tak luput menjadi "hambah" industri rokok. Padahal Kompas pernah menerima tobacco control award dari WHO (1998) atas kepeduliannya terhadap bahaya rokok.

Pada akhirnya, jika beberapa fakta sosial itu tetap jaya dan terus jalan di negeri ini, industri rokok sebaiknya kita sembah bersama. Kita bersama-sama menjadi “hamba” industri rokok di bangsa ini. Padahal banyak sekali akibat yang akan kita rasakan. Pertama, pengucilan komunitas internasional, karena Pemerintah Indonesia mengabaikan isi dari FCTC, yang notabene menjadi pembahas aktif dan sepakat terhadap substansinya. Komunitas internasional protes keras karena Pemerintah Indonesia inkonsisten, mencla-mencle. Kedua, peningkatan penggunaan narkoba dan penyakit sosial lainnya. Ingat, 90 persen pengguna narkoba adalah perokok berat. Artinya korelasi antara penggunaan narkoba dan rokok sangat kuat. Hasil disertasi Rita Damayanti (dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia) juga membuktikan, pengguna rokok berpotensi untuk terjerumus pada perilaku seks bebas, dan akhirnya terkena penyakit HIV/AIDS. Ketiga, peningkatan penderita kanker paru, jantung koroner, dan tuberculosis (TB). Ketiga penyakit ini primadonanya Indonesia dan salah satu pencetus utamanya adalah rokok. Sembilan dari 10 penderita kanker paru adalah perokok berat. Indonesia menduduki rating tiga besar di dunia untuk penyakit TB. Keempat, peningkatan penggunaan rokok di kalangan anak-anak, pelajar dan remaja. Prevalensi merokok di kalangan remaja Indonesia, menurut WHO, adalah tercepat di dunia (14,5 persen). Iklan, sponsorship, dan pemasaran iklan rokok yang amat gencar, menjadi pemicunya. Bahkan salah satu taktik marketing perusahaan rokok terbesar di negeri ini adalah mensponsori perayaan ulang tahun anak-anak secara gratis. Ironis.

Sekarang tinggal kita pilih, tetap menjadi penyembah yang “menuhankan” industri rokok, atau sebaliknya, mengendalikannya. Yang jelas, menurut ASEAN Tobacco Control Report Card, di Indonesia saat ini terdapat 56,6 juta perokok aktif. Separo dari perokok aktif itu adalah usia produktif, terutama generasi muda. Akankah masa depan mereka, kita gadaikan demi beberapa uang saja, yang memang tak setara dengan biaya kesehatan, ditambah biaya sosial ekonomi lainnya?

Ibarat ikan busuk maka yang harus dibuang adalah kepalanya dulu, hal serupa berlaku untuk reformasi di tubuh pejabat dan aparat yang katanya “hebat” tetapi nyatanya “keparat”, karena mereka rela genersi mudanya menjadi “penyembah” (baca: penyokong) bagi Industri Rokok. Hal ini menunjukkan evaluasi kritis terhadap sistem penegakan hukum yang menuntut adanya kajian mendalam dan menyeluruh demi tegaknya integritas negara dan prospek masa depan. Karena lemahnya penegakan hukum selama ini juga akibat masyarakat yang kurang menaati hukum. Akankah tahun 2010 nanti penegakkan hukum menjadi lebih baik? Semoga.

(Disunting dari berbagai Sumber)

Untuk lomba artikel "Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia" oleh BEM ITS

Pengadaan Program “Automotif Technopreneur Park” dengan Metode Mentoring Sebagai Bekal Berwirausaha Inovatif bagi Bengkel Motor di Kecamatan Sukolilo


Instruksi Presiden No. 4 Th 1995 tanggal 30 Juni 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan, mengamanatkan kepada seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia, untuk mengembangkan program-program kewirausahaan. Inpres tersebut dikeluarkan bukan tanpa alasan. Pemerintah menyadari betul bahwa dunia usaha merupakan tulang punggung perekonomian nasional, sehingga harus digenjot sedemikian rupa melalui berbagai departemen teknis maupun institusi-institusi lain yang ada di masyarakat. Melalui gerakan ini pada saatnya budaya kewirausahaan (entrepreneur) diharapkan menjadi bagian dari etos kerja masyarakat dan bangsa Indonesia, sehingga dapat melahirkan wirausahawan-wirausahawan yang handal, inovatif dan mandiri.

Kewirausahaan pada hakekatnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif (Suryana, 2000). Istilah kewirausahaan berasal dari terjemahan “Entrepreneurship”, dapat diartikan sebagai “the backbone of economy”, yang adalah syaraf pusat perekonomian atau pengendali perekonomian suatu bangsa (Soeharto Wirakusumo, 1997:1). Kewirausahaan ini merupakan penerapan kreativitas dan keinovasian untuk memecahkan permasalahan dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang dihadapi sehari-hari serta merupakan gabungan dari kreativitas, keinovasian dan keberanian menghadapi resiko yang dilakukan dengan cara kerja keras untuk membentuk dan memelihara suatu usaha apapun.

Dewasa ini, perkembangan entrepreneur dalam dunia otomotif khususnya sepeda motor di Indonesia cukup menggembirakan, sebagai barometer dapat kita lihat dengan meningkatnya jumlah populasi motor baik di Kota Surabaya maupun di daerah lainnya. Naiknya harga BBM, serta kondisi lalu lintas di jalan yang setiap hari macet, pemakaian motor merupakan solusi untuk dapat menghemat biaya serta mempercepat waktu dalam perjalanan.
Dengan perkembangan ini, ada beberapa hal yang perlu di antisipasi untuk meningkatkan perkembangan sepeda motor di Indonesia seperti :
• Memperluas pengetahuan tentang Sepeda Motor.
• Melakukan standarisasi Sepeda Motor melalui sertifikasi.
• Meningkatkan kerjasama diantara organisasi yang terkait.
• Persaingan bisnis yang semakin global.

Dari sisi yang lain, usaha perbengkelan motor di wilayah kota Surabaya sangat berkembang pesat. Mengambil contoh, bengkel motor di Surabaya bagian timur khususnya di daerah Kecamatan Sukolilo. Di daerah ini kurang lebih ada 60 bengkel motor, sedangkan 70% adalah bengkel motor yang bisa dikatakan kecil dan taraf hidupnya mengah ke bawah. Perkembangan bengkel motor ini seiring dengan pertumbuhan banyaknya motor masyarakat, rata-rata 10 - 15 unit sepeda motor yang diperbaiki pada satu bengkel yang ada di daerah itu, dengan kerusakan ringan seperti ganti Ban, Ganti Oli, Ganti Busi, dan kerusakan besar seperti bongkar mesin.

Namun bagi pengusaha bengkel motor tingkat menengah-kebawah (bengkel motor kecil, milik perorangan), perkembangan otomotif dan kemajuan teknologi memberikan dampak pada perubahan pola pengembangannya. Keadaan ini bertolak belakang dengan kondisi bengkel motor besar yang terus berkembang secara signifikan dan mendapat untung yang relative bertambah, tanpa memikirkan kondisi usaha perbengkelan motor tingkat bawah. Berbagai upaya preventif harus segera dilakukan untuk meningkatkan pengembangan usaha bengkel kecil agar tidak tersingkirkan oleh pemilik modal atau bengkel motor besar lainnya.

Dalam Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian masyarakat (PKMM) yang akan dilakukan, kita akan bekerja sama dengan bengkel motor kecil di sekitar kampus kecamatan Sukolilo Surabaya, yakni untuk proses pembelajaran dan pengembangan otomotif khususnya bidang Technopreneur, sekaligus untuk meningkatkan taraf hidup bengkel-bengkel motor di daerah tersebut.

Berbeda dengan entrepreneur, technopreneur dibangun berdasarkan keahlian yang berbasis pada pendidikan dan pelatihan yang didapatkannya di bangku perkuliahan ataupun dari percobaan, sayangnya bengkel-bengkel motor kecil yang ada di sekitar Surabaya khususnya di daerah Kecamatan Sukolilo belum mengenal tentang technopreneur, padahal mereka menggunakan teknologi sebagai unsur utama pengembangan produk dan jasa wirausahanya. Bengkel motor bukan hanya sekedar mengandalkan pelanggan, pemilihan pasar secara demografis ataupun pelayanan saja, namun harus ada pengembangan dalam jasa dan produk bengkel motornya. Bengkel motor banyak berhubungan dengan bidang teknologi otomotif, agar bisa dikatakan sebagai technopreneur maka bengkel motor harus bisa mengembangkan wirausaha dan teknologi otomotifnya. Mereka yang disebut teknopreneur adalah seorang “Entrepreneur Modern” yang berbasis teknologi. Inovasi dan kreativitas sangat mendominasi mereka untuk menghasilkan produk yang unggulan sebagai dasar pembangunan ekonomi bangsa berbasis pengetahuan (Knowledge Based Economic). ( Nasution, Arman Hakim et al, 2007)

Teknopreneur sendiri merupakan gabungan dari teknologi (kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi) dengan kewirausahaan (seseorang atau unit yang mampu bekerja sendiri untuk mendatangkan keuntungan melalui proses bisnis atau usaha). Teknopreneur adalah pengusaha yang membangun bisnisnya berdasarkan keahliannya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan menghasilkan produk inovatif yang berguna tidak hanya bagi dirinya, tetapi bagi kesejahteraan bangsa dan negaranya.

Terciptanya technopreneurship yang handal dan berkelanjutan dalam semua bidang, perlu ada sinergitas dan kerjasama dengan perguruan tinggi. Sistem pendidikan terutama pada tingkat perguruan tinggi dikembangkan tidak hanya untuk menghasilkan lulusan yang cakap dan trampil, tetapi juga yang mampu mengembangkan wirausaha. Pada kondisi ini seluruh elemen ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) Surabaya memiliki potensi dan peluang yang siap menghadapi tantangan global untuk ke depannya, dan harapannya dapat dimulai dari yang kecil yaitu melalui kegiatan pengabdian masyarakat dalam bidang teknologi otomotif bagi pengembangan bengkel motor yang ada disekitar kampus.

(Disunting dari PKMM D3 Mesin ITS 2009)
top