Hukum di Indonesia, Menjadikan Kita sebagai “Penyembah” Industri Rokok!

Jika ada negara di bumi yang paling enak ditonton dalam arti hancur dan remuk dalam proses penegakan hukum, Indonesia adalah salah satu diantaranya yang berada di barisan paling depan. Setuju?

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Maidah : 8)

Saat ini tidak mudah bagi kita untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani. Pada umumnya penegakan hukum tidak pernah berproses di ruang hampa. Tetapi selalu terkorelasi dengan variabel-variabel lain, seperti ideologi hukum, karakter hukum, kondisi sosial, politik, budaya, ataupun kepentingan ekonomi saja. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negri maupun luar negri.

Dari tahun ke tahun, Masyarakat Indonesia juga semakin bisa mengerti, mereka mulai sanggup membedakan mana yang benar ataupun mana yang salah. Menyembah selain Tuhan, dalam konteks agama Islam, sangat terlarang (syirik). Tetapi, dalam keseharian, baik secara sosial, ekonomi, politik bahkan budaya; praktik semacam itu lazim terjadi. Trendnya malah mengalami eskalasi yang sangat kuat. Ada satu bukti empiris betapa praktik itu terus menggurita, yaitu "menyembah" industri rokok. Kelihatannya aneh sekali, tapi itulah fenomenanya. Pemerintah dan masyarakat menjadi "Penyembah" industri rokok. Entitas ekonomi yang satu ini dipuja, bagai tuhan saja. Cukai dan pajak Rp 50 trilyun ke kas APBN plus trilyunan rupiah lainnya, serta terserapnya ratusan ribu pekerja menjadi instrumen efektif untuk menuhankannya. Efek candu yang ditimbulkan, tegas sekali tercantum dalam bungkus dan iklannya bahwa "rokok dapat mengakibatkan serangan jantung, kanker paru serta gangguan kehamilan dan janin" menjadi bagian kecil yang tak tampak.

Merokok merupakan salah satu kebiasaan buruk yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Rokok menyebabkan satu dari 10 kematian orang dewasa di seluruh dunia, dan mengakibatkan 5,4 juta kematian tahun 2006. Ini berarti rata-rata satu kematian setiap 6,5 detik. Kematian pada tahun 2020 akan mendekati dua kali jumlah kematian saat ini jika kebiasaan konsumsi rokok saat ini terus berlanjut. Diperkirakan, 900 juta (84 persen) perokok sedunia hidup di negara-negara berkembang atau transisi ekonomi termasuk di Indonesia. The Tobacco Atlas mencatat, ada lebih dari 10 juta batang rokok diisap setiap menit, tiap hari, di seluruh dunia oleh satu miliar laki-laki, dan 250 juta perempuan. Di Asia, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak jumlah perokok yang mencapai 146.860.000 jiwa. Perokok di Indonesia 70 persen diantaranya berasal dari kalangan keluarga miskin. Orang miskin di Indonesia mengalokasikan uangnya untuk rokok pada urutan kedua setelah membeli beras. Mereka lebih mengutamakan rokok enam kali lebih penting dari pendidikan dan kesehatan.

Saat ini perokok tidak hanya dari kalangan dewasa, tetapi sudah merambah ke kalangan remaja dan anak-anak. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah perokok pemula, umur 5-9 tahun, naik secara signifikan. Hanya dalam tempo tiga tahun (2001-2004) persentase perokok pemula naik dari 0,4 menjadi 2,8%. Peningkatan prevalensi merokok tertinggi berada pada interval usia 15-19 tahun dari 13,7 persen jadi 26,8 persen atau naik 77 persen dari tahun 2004. Menurut Survei Global Tembakau di Kalangan Remaja pada 1.490 murid SMP di Jakarta tahun 2002, terdapat 46,7 persen siswa yang pernah merokok dan 19 persen di antaranya mencoba sebelum usia 10 tahun. “Remaja umumnya mulai merokok di usia remaja awal atau SMP”. Sebanyak 1.172 orang di Indonesia meninggal setiap hari karena rokok dan 100 persen pecandu narkoba merupakan perokok. Sudah banyak usaha yang dilakukan untuk mengurangi jumlah perokok, namun usaha tersebut tidak membuahkan hasil yang signifikan.

Dewasa ini, Pemerintah nyaris tak memedulikan pengendalian penggunaan tembakau (tobacco control) di negeri tercinta ini. Buktinya, ketika 192 negara anggota World Health Organisation (WHO) menundukkan diri dalam Kerangka Konvensi Pengendalian Dampak Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control / FCTC), Pemerintah Indonesia bergeming, hingga detik ini. Padahal, Pemerintah Indonesia adalah salah satu penggagas dan pembahas draf terbentuknya FCTC, yang kini telah menjadi hukum internasional.

Memang, Pemerintah pernah membuat terobosan kebijakan untuk membatasi ruang gerak industri madat ini. Setidaknya, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 1999 tentang Peyanggulangan Masalah Merokok bagi Kesehatan, mereka pernah dibuat bak cacing kepanasan. PP ini memerintahkan agar kandungan nikotin pada rokok dibatasi, maksimum 20 mg untuk tar, dan 1,5 mg untuk nikotin. PP ini juga melarang total iklan rokok di media masa elektronik. Tetapi, konsistensi PP ini hanya sebentar saja. Presiden Gus Dur melalui PP No. 32 Tahun 2000 dan Presiden Megawati melalui PP No. 19 Tahun 2003, telah menggembosi PP No. 81/1999. PP yang secara minimalis menjadi obat hati bagi pengendalian bahaya tembakau ini, rontok. Dalang dibalik drama ini, tiada yang lain, adalah industri rokok.

Advokasi pengendalian tembakau di Indonesia bagaikan menabrak tembok besar yang sangat kokoh, dan nyaris tak tersentuh. Hampir tidak ada, baik perseorangan maupun kelembagaan yang tidak "menyembah" (baca: terbeli) industri rokok. Bukan saja terbeli secara materi, tetapi juga pemikiran, ucapan, tindakan dan kebijakannya. Ormas keagamaan, partai politik, bupati, gubernur, menteri, dan sang Presiden sekalipun; semua dalam genggaman industri ini. Ormas keagamaan terbesar di negeri ini, bahkan mempunyai pabrik rokok, berkolaborasi dengan industri rokok besar. Akibatnya, nyaris mustahil 'fatwa haram' merokok meluncur dari "mulut" ormas ini. Bagaimana mengharamkannya, jika sang kyai ikut klepas-klepus, dan keperluan organisasinya pun dipasok dari industri rokok? Di Timur Tengah, bahkan Malaysia dan Brunei; sudah lama rokok diharamkan.

Peran dan fungsi Menteri Kesehatan (Menkes) disini yang seharusnya menjadi barisan terdepan dalam pengendalian bahaya tembakau, jangan sampai ucapan dan kebijakannya justru kontra produktif dengan mendukung industri rokok karena bisa memberikan cukai yang sangat besar kepada negara. Selain itu harus membuka mata lebar-lebar terhadap FCTC, Menkes harus menyegerakan bersinergis dengan para LSM atau aktivis untuk pengendalian bahaya tembakau.

Bagi anggota DPR atau bahkan Presiden melalui Forum Parlemen Indonesia untuk menyusun draf UU Pengendalian Dampak Produk Tembakau, harus terus didukung. Tidak seharusnya tanpa alasan jelas, Badan Legislasi DPR menolak draf RUU tersebut ke dalam Program Legislasi Nasional 2008/2009.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Atas dalih pengentasan kemiskinan, Presiden malah mensponsori pendirian pabrik rokok di kampungnya, Pacitan, Jawa Timur. Padahal, industri rokok sejatinya menjadi biang atas kemiskinan. Ibu Ani Yudhoyono, sang Ibu Negara, bahkan pernah menyampaikan kepada pimpinan sebuah LSM bahwa dirinya bisa membantu apa saja yang diminta LSM tersebut, kecuali satu: bicara masalah rokok! Padahal pimpinan LSM itu datang dalam rangka mengusung isu bahaya tembakau bagi generasi muda. Hal seperti ini, tak sepantasnya terjadi.

Bagi media massa, fungsi kontrol sosialnya (Sosial Control) nyaris tumpul saat berhadapan langsung dengan industri rokok. Besarnya keuntungan iklan rokok yang diterima, diduga menjadi penyebab utama. Sebuah stasiun televisi yang masih baru-baru ini, 75 persen keuntungan iklannya (hampir Rp 1 trilyun) dari industri rokok. Tetapi pemberi (industri rokok) berpesan, "Jangan sekali-kali membuat talkshow tentang rokok ya!". Media masa cetak besar di negeri ini (Jawa Pos, Media Indonesia, Kompas, dll.) tak luput menjadi "hambah" industri rokok. Padahal Kompas pernah menerima tobacco control award dari WHO (1998) atas kepeduliannya terhadap bahaya rokok.

Pada akhirnya, jika beberapa fakta sosial itu tetap jaya dan terus jalan di negeri ini, industri rokok sebaiknya kita sembah bersama. Kita bersama-sama menjadi “hamba” industri rokok di bangsa ini. Padahal banyak sekali akibat yang akan kita rasakan. Pertama, pengucilan komunitas internasional, karena Pemerintah Indonesia mengabaikan isi dari FCTC, yang notabene menjadi pembahas aktif dan sepakat terhadap substansinya. Komunitas internasional protes keras karena Pemerintah Indonesia inkonsisten, mencla-mencle. Kedua, peningkatan penggunaan narkoba dan penyakit sosial lainnya. Ingat, 90 persen pengguna narkoba adalah perokok berat. Artinya korelasi antara penggunaan narkoba dan rokok sangat kuat. Hasil disertasi Rita Damayanti (dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia) juga membuktikan, pengguna rokok berpotensi untuk terjerumus pada perilaku seks bebas, dan akhirnya terkena penyakit HIV/AIDS. Ketiga, peningkatan penderita kanker paru, jantung koroner, dan tuberculosis (TB). Ketiga penyakit ini primadonanya Indonesia dan salah satu pencetus utamanya adalah rokok. Sembilan dari 10 penderita kanker paru adalah perokok berat. Indonesia menduduki rating tiga besar di dunia untuk penyakit TB. Keempat, peningkatan penggunaan rokok di kalangan anak-anak, pelajar dan remaja. Prevalensi merokok di kalangan remaja Indonesia, menurut WHO, adalah tercepat di dunia (14,5 persen). Iklan, sponsorship, dan pemasaran iklan rokok yang amat gencar, menjadi pemicunya. Bahkan salah satu taktik marketing perusahaan rokok terbesar di negeri ini adalah mensponsori perayaan ulang tahun anak-anak secara gratis. Ironis.

Sekarang tinggal kita pilih, tetap menjadi penyembah yang “menuhankan” industri rokok, atau sebaliknya, mengendalikannya. Yang jelas, menurut ASEAN Tobacco Control Report Card, di Indonesia saat ini terdapat 56,6 juta perokok aktif. Separo dari perokok aktif itu adalah usia produktif, terutama generasi muda. Akankah masa depan mereka, kita gadaikan demi beberapa uang saja, yang memang tak setara dengan biaya kesehatan, ditambah biaya sosial ekonomi lainnya?

Ibarat ikan busuk maka yang harus dibuang adalah kepalanya dulu, hal serupa berlaku untuk reformasi di tubuh pejabat dan aparat yang katanya “hebat” tetapi nyatanya “keparat”, karena mereka rela genersi mudanya menjadi “penyembah” (baca: penyokong) bagi Industri Rokok. Hal ini menunjukkan evaluasi kritis terhadap sistem penegakan hukum yang menuntut adanya kajian mendalam dan menyeluruh demi tegaknya integritas negara dan prospek masa depan. Karena lemahnya penegakan hukum selama ini juga akibat masyarakat yang kurang menaati hukum. Akankah tahun 2010 nanti penegakkan hukum menjadi lebih baik? Semoga.

(Disunting dari berbagai Sumber)

Untuk lomba artikel "Inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia" oleh BEM ITS

top